ARTI DAN MAKNA LAMBANG NU
Lambang NU
diciptakan oleh K.H RIDWAN ABDULLAH (Surabaya) salah seorang a'wan syuriah PBNU
periode pertama pada tahun 1926,lambang itu dihasilkan dari sebuah mimpi
setelah melakukan sholat istikhoroh,shga diyakini bukan lambang sembarangan tapi
memiliki makna yg sangat dalam.
Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan “Lambang
Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul,
dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima)
bintang terletak melingkari di atas
garis katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak
di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah
katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang
melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan
warna putih di atas dasar hijau.”
1.
BOLA DUNIA bumi adalah tempat
manusia berasal,menjalani hidup dan kembali sesuai dgn surat thaha ayat 55 yg berbunyi:"dari
bumi (tanah) itulah KAMI menjadikan kamu dan kepadanya KAMI akan mengembalikan
kamu dan dari padanya KAMI akan mengeluarkan kamu pada kali yg lain"
2.
TAMPAR YG MELINGKAR DGN
UNTAIAN BERJUMLAH 99 : 99 melambangkan nama-nama bagi ALLAH (asma'ul
husna) tali melambangkan ukhuwah yg kokoh berdasarkan ayat 103 surat ali imron
"dan berpeganglah kalian dgn tali (agama) ALLAH,dan janganlah kamu
bercerai berai dan ingatlah akan nikmat ALLAH kpdamu ktka kamu dahulu(masa
jahiliyah)bermusuh musuhan,maka ALLAH melunakkan antara hatimu lalu menjadikan
kamu karena nikmat ALLAH orang orang yg bersaudara"
3.
PETA INDONESIA
melambangkan bahwa nahdhotul ulama didirikan di indonesia
dan berjuang untuk kejayaan negara kesatuan republik indonesia
4.
DUA SIMPUL IKATAN
DIBAGIAN BAWAH melambangkan hub vertikal kpd ALLAH (hablun minallah)
dan hubungan horizontal dgn sesama manusia (hablun minannas).
5.
EMPAT BINTANG
MELINTAS DI ATAS BUMI melambangkan KHULAFA'UR RASYIDIN
6.
SATU BINTANG BESAR
DITENGAH melambangkan RASULULLOH SAW
7.
EMPAT BINTANG DIBAWAH
BUMI melambangkan EMPAT IMAM MADHAB (imam syafii,imam hanafi,imam
maliki,imam hambali)
8.
JUMLAH BINTANG
SELURUHNYA 9 melambangkan WALI SONGO yg menyebarkan agama islam di
belahan nusantara
9.
TULISAN ARAB NAHDHOTUL
ULAMA MELINTANG DI TENGAH BUMI berarati nama organisasi yg dimotori
oleh para ulama yg artinya "kebangkitan para ulama"
10. WARNA HIJAU melambangkan kesuburan
11. WARNA PUTIH melambangkan kesucian
Sejarah Berdirinya NU
|
Nahdlatul Ulama'
|
Nahdlatul
Ulama, yang secara harfiah bermakna “Kebangkitan Para Ulama” merupakan
organisasi masyarakat (Ormas) Islam yang lahir di Kertopaten, Surabaya pada 26
Rojab 1344 H / 31 Januari 1926 M.
Munculnya NU semakin mewarnai bursa Ormas (khususnya di pulau jawa) yang sudah
ada saat itu, seperti Sarekat Islam (SI, berdiri 1911), Muhammadiyah (1912), Al
Irsyad (1914), dan Persis (1923). Untuk mengetahui bagaimana NU berdiri mungkin
kita perlu menilik kembali sejarah, kejadian, dan fakta yang terjadi dan
mencoba menggali bagaimana pemikiran para founding father NU itu
sendiri. Hal ini karena berdirinya NU memiliki sejarah yang panjang dan
kompleks.
Sejarah
mencatat, jauh sebelum NU lahir dalam bentuk organisasi (jam’iyyah), sebenarnya
benih-benihnya sudah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang terikat kuat
oleh aktivitas sosial keagamaan yang memiliki kekhasan tersendiri. Lahirnya NU
tidak ubahnya mewadahi, menata, menyusun, atau apapun namanya untuk mengatur
sesuatu yang telah ada. Peneguhan organisasi ini tidak ubahnya penegasan formal
dari suatu mekanisme informal para ulama sefaham pemegang teguh ajaran madzhab
empat yang telah berlangsung sejak lama.
Asumsi ini tak
lepas dari sebuah peristiwa sejarah berkumpulnya para ulama terkemuka di
Kertopaten Surabaya,
di kediaman KH. Abdul Wahab Chasbullah pada 31 Januari 1926. Pertemuan ini pada
awalnya bertujuan membahas dan menunjuk apa yang selanjutnya dinamakan Komite
Hijaz. Komite yang diutus untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Azis Ibnu
Sa’ud, penguasa baru Arab yang berpaham wahabi. Tentang Komite Hijaz akan
dibahas selanjutnya. Karena belum memiliki organisasi yang bertindak sebagai
pengirim delegasi maka secara spontan dibentuklah organisasi yang kemudian
diberi nama Nahdlatul Ulama (setelah sebelumnya terjadi perdebatan tentang nama
organisasi ini). Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan NU merupakan
pengorganisasian potensi dan peran Ulama dan Kyai pesantren agar wilayah kerja
keulamaannya meluas, tidak melulu terbatas pada persoalan kepesantrenan atau
kegiatan ritual keagamaan, tetapi juga untuk lebih peka terhadap masalah
sosial, ekonomi, politik dan urusan kemasyarakatan pada umumnya.
Berkaca
terhadap apa yang terjadi pada masa itu, para pengamat berbeda pendapat
mengenai latar alasan pasti dibentuknya NU. Tapi setidaknya ada 3 faktor
pendorong pembentukan NU.
Pertama
adalah motivasi untuk mempertahankan agama Islam dari serbuan kristenisasi yang
dibawa penjajah saat itu. Hal ini dikira perlu dikarenakan pemerintah Belanda
memberikan bantuan secara besar-besaran untuk Misi Katholik dan Zending
Protestan (akar penjajahan tidak bisa dilepaskan dari sejarah perang salib dan
misi penyebaran agama Kristen, slogan: gold-gospel-glory). Sejarah
mencatat bahwa perlawanan secara fisik dan sporadis tidak banyak berhasil
sehingga diperlukan langkah lain dalam melawan penjajah. Pembentukan organisasi
dirasa perlu sebagai alat komunikasi ummat sekaligus alat penyiaran dan
pertahanan akidah yang merupakan konsekuensi dan tanggung jawab keagamaan yang
diamanatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedua
adalah semangat nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan. Hal ini terungkap dari
diskusi KH. Wahab Chasbullah dan Kiai Abdul Halim (Cirebon) sehari sebelum berdirinya NU. Kiai
Abdul Halim menanyakan kepada KH. Wahab Chasbullah mengenai pembentukan
organisasi ini, “Apakah mengandung tujuan untuk menuntut kemerdekaan?”.
Jawab KH. Wahab, “tentu, itu syarat nomor satu. Ummat Islam menuju ke jalan
itu (kemerdekaan). Ummat Islam tidak akan leluasa, sebelum Negara kita merdeka”.
Dialog tersebut menunjukkan bahwa pendirian NU juga karena ada dorongan kuat
untuk mencapai kemerdekaan.
Ketiga
adalah untuk mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jama’ah. Seperti kita
ketahui, pada 1920-an Arab sukses dikuasai oleh rezim Sa’ud yang berpaham
wahabi. Kemenangan rezim Sa’ud di Arab ini dipandang membahayakan eksistensi
faham ahlussunnah yang pro tradisi dan telah berlangsung lama di Timur Tengah.
Sedangkan kita tahu bahwa gerakan wahabi memiliki jargon untuk purifikasi
(pemurnian) ajaran Islam dan anti-tradisi. Wahabi merupakan aliran keagamaan
yang menentang banyak hal dan ikhwal praktik keagamaan yang dianggap penuh
bid’ah, takhayul, khurafat dan syirik, termasuk penggunaan madzhab yang tidak
ada dalam Al Qur’an dan Hadits. Pada saat itu, kerajaan Saudi mengundang
perwakilan ummat Islam di dunia untuk hadir dalam Mu’tamar ‘Alam Islami
(Kongres Islam Internasional) dimana kongres tersebut bertujuan untuk
mensepakati penggunaan paham wahabi yang puritan dan anti tradisi tersebut.
Perwakilan dari Indonesia
sendiri diputuskan melalui Kongres Al Islam yang digelar di Yogyakarta
tahun 1925 dimana perwakilan berbagai ormas dan tokoh agama Islam hadir. Saat
itu KH. Wahab Chasbulloh berbeda pandangan dengan perwakilan yang lain sehingga
Beliau dikeluarkan dari anggota. Agar terus bisa memperjuangkan faham
Ahlussunnah wal Jama’ah maka dibentuklah Komite Hijaz (yang telah disinggung
sebelumnya) untuk menyampaikan aspirasi dengan menghadap Raja Saudi. Intinya
adalah agar kerajaan Saudi tetap menghormati kebebasan bermadzhab,
praktik-praktik keagamaan serta memelihara dan meramaikan tempat-tempat
bersejarah ummat Islam. Komite Hijaz yang akhirnya diutus menghadap raja Saudi
adalah KH. Wahab Chasbullah sendiri dan Syaikh Ahmad Ghana’im (asal Mesir), dua
tahun setelah NU berdiri. Adapun tokoh-tokoh yang hadir dalam pembentukan
Komite Hijaz (tempat dan waktu pembentukan telah disebut sebelumnya) adalah
1.
KH. Hasyim Asy’ari
(Tebuireng-Jombang),
2.
KH. Bisri Syansuri (Denanyar,
Jombang),
3.
KH. Asnawi (Kudus),
4.
KH. Nawawi (Pasuruhan),
5.
KH. Ridwan (Semarang),
6.
KH. Ma’sum (Lasem-Rembang),
7.
KH. Nahrawi (Malang),
8.
H. Ndoro Muntaha (Menantu KH.
Kholil Bangkalan-Madura),
9.
KH. Abdul Hamid (Sedayu-Gresik),
10. KH. Abdul Halim (Cirebon),
11. KH. Ridwan Abdullah (Surabaya)
12. KH. Mas Alwi (Surabaya)
13. KH. Abdullah Ubaid (Surabaya),
14. Syaikh Ahmad Ghana’im (Mesir) atau KH Abdulloh Faqih (Duku
Gresik) dan
15. KH. Wahab Chasbullah sendiri sebagai tuan rumah.
Dari uraian di
atas sebenarnya terlihat jelas bahwa dibentuknya NU utamanya lebih merupakan
reaksi atas wahabisme di Timur Tengah, bukan reaksi atas ormas-ormas yang
sebelumnya telah ada terlebih dahulu (Muhammadiyah, Persis, dll) walaupun
diakui atau tidak pada beberapa (banyak) aspek ada kesamaan faham antara wahabi
dan ormas-ormas tersebut. Tetapi bukan berarti ormas-ormas seperti Muhammadiyah
dan Persis sama sekali tidak memiliki pengaruh atas lahirnya NU. Sejarah
mencatat sering kali terjadi debat terbuka yang sengit dan penuh fanatisme
antara KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur (dari Muhammadiyah), Syaikh Ahmad
Surkati (dari Al Irsyad), Ahmad Hasan (dari Persis) yang mewakili kubu
pembaharu, puritan, anti-tradisi melawan KH. Wahab Khasbullah, KH. R. Asnawi,
KH. M Dahlan Kertosono yang mewakili kaum tradisionalis dan pro-tradisi.
Perdebatan berlangsung lama dan melelahkan walaupun hanya dalam taraf fiqh
furu’ (cabang) seperti tahlil, talqin mayit, bacaan ushalli, doa qunut dan
persoalan “remeh” lainnya. Akan tetapi hingga saat ini pun masih bisa kita
rasakan bekas-bekas perdebatan tersebut. Sekarang menjadi jelas bahwa walaupun
pembentukan NU bukan atas reaksi utama terhadap eksistensi ormas pembaharu
Islam di tanah air tetapi keberadaan ormas-ormas tersebut tetap memberi andil
atas terbentuknya NU, bahkan terhadap perjalanan NU sekarang.
Harus
diketahui pula, jauh sebelum NU berdiri sudah terjalin komunikasi yang intens
antara para Kiai pesantren. Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan Kiai
pesantren memiliki poros/ kiblat keilmuan yang sama yaitu poros Bangkalan (KH.
Kholil), poros Tebuireng (KH. Hasyim Asy’ari) dan poros Mekkah (Syaikh Nawawi
Al Bantani, Syaikh Mahfudh al Tarmasi dan lain sebagainya). Tradisi silaturahmi
para Kiai ini membentuk semacam jaringan yang memudahkan setiap agenda
pertemuan, termasuk terbentuknya NU. Selain itu pembentukan NU juga merupakan
akumulasi persoalan yang telah mengendap sekian lama baik dalam ranah KeIslaman
atau KeIndonesiaan.
Tanpa
mengecilkan peran Kiai lain, harus diakui tokoh yang bisa dikatakan paling
banyak berkeringat dalam pendirian NU adalah KH. Wahab Chasbullah. Dengan
dukungan penuh dari saudara sepupu sekaligus gurunya KH. Hasyim Asy’ari, Beliau
merintis beberapa lembaga/ organisasi/ forum intelektual untuk meningkatkan
kepekaan sosial dan kecerdasan para Kiai dan Santri. Beliau pernah masuk
Sarikat Islam (SI) tetapi akhirnya keluar karena SI dianggap terlalu politis.
Selanjutnya beliau membuat lembaga yang konsen pada masalah pendidikan yaitu
Nahdlatul Wathan dan membuat kelompok diskusi keagamaan dan sosial masyarakat
yang diberi nama Tashwirul Afkar. Sebenarnya kesemuanya itu ada sebelum NU
berdiri. Sebelumnya KH. Wahab Chasbullah juga pernah mengusulkan agar dibentuk
sejenis “organisasi perkumpulan para ulama” tetapi usulan tersebut ditolak oleh
KH. Hasyim Asy’ari karena dirasa belum cukup alasan pembentukannya. Baru pada 26
Rojab 1344 /31 Januari 1926 itulah KH. Hasyim Asy’ari merestui berdirinya
NU karena dipandahng telah cukup alasan, bahkan beliau sendiri yang menjadi
Rais Akbar-nya setelah Beliau pun mendapat petunjuk melalui gurunya KH. Khalil
(Bangkalan-Madura).
Dalam pidato
pembentukan NU, yang kemudian menjadi “Muqaddimah Qanun Asasi NU”, KH.
Hasyim Asy’ari secara tegas mengatakan bahwa “…Pendirian jam’iyyah Nahdlatul
Ulama atau NU adalah mutlak diperlukan untuk memperkuat basis solidaritas
sesama ummat Islam guna memerangi keangkaramurkaan”. Sebuah syair pun
dikutip Hadratus Syaikh (sebutan untuk KH Hasyim Asy’ari) yang menunjukkan
signifikansi sebuah Jam’iyyah, yaitu:
“… Berhimpunlah anak-anakku
bila genting datang melanda
Jangan bercerai berai,
sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila
bersama
Bila bercerai, satu-satu pecah
berderai…”
Pada tanggal 5
September 1929, para fungsionaris NU mengajukan surat permohonan legalisasi organisasi kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Lima bulan kemudian, tepatnya 6 Februari 1930
permohonan tersebut dikabulkan dan NU resmi berbadan hukum. Sejak saat itu
organisasi itu terus berkembang dan menjadi ormas terbesar di negeri ini.
Sumber :
1.
Buku Aswaja Kelas 4 Madrasah Diniyah diterbitkan LP Ma’arif NU Kab.Psuruan
2.
Nalar Islam Nusantara (Studi Islam
ala Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan NU)
3.
Didukung sumber dari NU online
(www.nu.or.id)
Terima kasih untuk sharing. bagus untuk menambah ilmu di pelajaran sosiologi
BalasHapus^_^
mohon ijin copy ...
BalasHapusArti dan makna dari gambar lambang nu menurut saya semua warga nahdliyin harus tau,,,karena didalamnya terdapat pembelajaran dan makna yang sangat dalam
BalasHapus